Hari
itu mestinya Syamsul, 34 tahun, ikut pengajian pekanan. Tetapi ia
justru menjadi was-was dan ragu, antara datang atau tidak. Jika datang,
ia takut ditangkap kembali oleh aparat.
Sebelum kejadian salah tangkap oleh Brimob pada Desember 2012 lalu,
warga Poso Pesisir Utara tersebut tidak pernah merasa takut jika ingin
menghadiri pengajian. Namun, keadaan berubah setelah dirinya masuk daftar pencarian orang
(DPO) oleh Polres Poso. Syamsul trauma. “Jangan-jangan saya akan
dihantam lagi,” kata Syamsul kepada Suara Hidayatullah, akhir April
lalu. Hingga kini, katanya, pengalaman itu masih menyisakan trauma.
Kejadian yang menimpa Syamsul bermula dari peristiwa penembakan empat
orang anggota Brimob di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara,
Desember 2012. Ia termasuk satu dari belasan orang korban salah tangkap
yang dilakukan oleh Densus 88. Ia dicokok oleh aparat di kediamannya
usai shalat Zuhur di masjid dekat rumahnya.
Menurut Syamsul, saat itu ada anggota Brimob yang berteriak, “Siapa
yang namanya Sam?” Ia langsung mengangkat telunjuk. Syamsul pun langsung
diangkut ke atas truk menuju pasar. Ia disuruh menunjukkan
teman-temannya yang juga ikut mengaji. Karena tidak ada, akhirnya
Syamsul dibawa ke pos penjagaan di Desa Kalora.
Di situlah, aku Syamsul, ia diinterogasi soal kejadian penembakan,
sambil dipukuli oleh beberapa aparat. Tak ayal, matanya bengkak akibat
hantaman benda tumpul. “Pukulan itu kencang sekali, saya sampai
sempoyongan,” ucapnya sambil mengingat kejadian tersebut. Beberapa saat kemudian Syamsul kembali naik truk menuju Kota Poso,
siksaan masih berlanjut di atas truk. “Tengkuk dan tulang ekor saya
dihajar lagi, sampai seperti mau buang air besar,” kenangnya pahit.
Saat di kantor Mapolres, Syamsul juga mendapat perlakuan yang sangat
merendahkan. “Saya ditelanjangi dan (maaf) memegang kemaluan saya,”
ungkapnya pilu. “Ada juga di antara mereka yang memegang janggut saya,
sambil berkata, ‘Apaan nih, pakai janggut segala?’”
Hal serupa juga dialami Syafrudin. Pria yang berprofesi sebagai guru
di sebuah SMP negeri di Kalora ini juga menjadi korban salah tangkap
anggota Brimob Poso. Sama halnya dengan Syamsul, bapak berusia 54 tahun
ini juga dituding terlibat dalam penembakkan empat anggota Brimob di
Kalora.
Syafrudin ditangkap di rumahnya saat tengah istirahat sepulang
mengajar. Gedoran pintu yang mengagetkan itu ternyata dilakukan oleh
anggota Brimob. “Ada apa ini?” tanya Syafrudin saat menemui tamu tak
diundang itu. Tapi malang baginya, todongan senjata laras panjang
menjadi jawaban atas sapaan Syafrudin.
Segera ia dinaikkan ke atas truk, ternyata disitu sudah ada dua orang
yang nasibnya sama. Syafrudin dibawa ke pos penjagaan polisi Kalora
yang letaknya hanya sekitar 200 meter. Di pos yang hanya berukuran
sekitar 3 x 4 meter itu, Syafrudin dihajar sampai tak sadarkan diri.
“Ketika dibawa ke Polres Poso, saya sudah tidak ingat apa-apa. Ketika
sadar, saya lihat muka sudah bengkak dan hitam-hitam,” ucapnya.
Baik Syamsul dan Syafrudin saat itu matanya ditutup sampai tiga hari.
Baru setelah hari ke-4 mata mereka dibuka. Hari ketujuh, Syamsul,
Syafrudin, dan beberapa orang lainnya akhirnya dilepas.
Penangkapan yang dilakukan Brimob dan Densus 88 ini menyisakan trauma
mendalam terhadap korban salah tangkap. Beberapa orang itu mengaku
trauma jika melihat aparat. Mereka memilih menjauh kalau melihat polisi.
“Saya trauma kalau lewat pos itu. Kalau mendengar suara sirine dari
kendaraan muncul perasaan takut,” kata Syamsul.
Menurut Syafrudin dan Syamsul, pihak Polres Poso mengaku tidak tahu
menahu terhadap kekerasan yang dilakukan oleh anggota Brimob. Salah
seorang polisi di Mapolres Poso mengatakan, pelaku pemukulan itu anggota
Brimob dari Jakarta. “Mereka mengatakan resimen dari Kelapa Dua
Jakarta, bukan dari Polres Poso,” ujar Syafrudin.
Perasaan takut ternyata tidak saja dialami oleh para korban salah
tangkap, beberapa warga Poso lainnya pun merasakan hal yang sama. Bahkan
sampai diikuti. Hal itu diakui, sebut saja A, ketika berangkat menuju
Jakarta. Katanya, sekitar pertengahan tahun 2011, saat ia berada di
Jakarta dan menginap di salah seorang kawannya. Lalu rumah kawannya itu
sempat didatangi oleh orang tak dikenal. Saat dibukakan pintu, orang tak
dikenal itu langsung bertanya, “Ada tamu dari Poso ya, jangan bohong
kamu, koordinatnya ada di sini.”
Awal Istilah DPO di Poso
Tahun 2007 adalah awal umat Islam di Poso berurusan dengan satuan
Brimob, Densus 88, dan jajaran Polres Poso. Hal itu bermula saat polisi
melakukan razia sehari menjelang Idul Fitri 1427 H di daerah Tanah
Runtuh, Gebangrejo, Poso Kota. Hal itu berujung bentrok warga dengan
kepolisian. Bisa dikatakan ini merupakan peristiwa besar setelah konflik
umat Islam dengan Kristen pada rentang tahun 1998-2005.
Menurut Ustadz Adnan Arsal, Ketua Forum Solidaritas Perjuangan Ummat
Islam (FSPUI), istilah DPO digunakan oleh Mabes Polri untuk umat Islam
Poso yang pernah terlibat aktif dalam konflik berkepanjangan antara
Islam dengan Kristen. “Itulah awal Densus 88 masuk dan masyarakat
bergesekan dengan aparat,” ucap Adnan Arsal, kepada Suara Hidayatullah
di Palu, Sulteng, April lalu.
Agenda Mabes Polri ini, ujar Adnan, tidak akan berhenti untuk
memunculkan DPO baru. “Jika DPO sudah habis, bukan tidak mungkin saya
juga bakal ditangkap atau bahkan ditembak, itu sudah risiko,” katanya.
Umat Islam menjadi geram soal DPO ini. Bahkan kian bertambah ketika
seorang warga dituduh DPO. Saat itu Adnan menyerahkan langsung seorang
yang dituding DPO secara baik-baik, asal Polisi juga memperlakukannya
dengan baik dan tidak disiksa. Kapolda Sulteng menyetujuinya. Namun,
kata Adnan, janji itu ternyata diingkari, setelah warga yang dituding
DPO itu diserahkan ternyata dibawa ke Jakarta oleh Densus 88 yang datang
dari Jakarta. “Saat itu umat Islam di Poso demo besar-besaran,
menduduki kantor DPRD, Kejaksaan, dan Kehakiman selama satu bulan,”
katanya.
Sejak itulah, umat Islam di Poso merasa tersudut. Padahal, Adnan
sudah memerintahkan kepada umat Islam di sana agar jangan melawan
aparat.
Namun, kata Adnan, lama-lama umat Islam di Poso merasa terzalimi,
mereka terpaksa melakukan perlawanan sporadis. Sebab, aparat main
tangkap saja tanpa menjelaskan permasalahannya. “Kita sadar mustahil
melawan aparat, tapi cara penegakan hukum mereka itu salah, tidak
begitu,” ucapnya.
Bukan hanya Islam saja yang menolak kehadiran Densus 88 di Poso. Umat
Kristen pun juga merasa resah dengan adanya aparat yang selalu
mengaitkan Poso sebagai lumbung teroris. Tokoh Kristen Katolik di Poso
mengatakan, perbuatan aparat yang main tembak dan asal tangkap juga
membuat warga Kristen di Kota Poso enggan untuk tinggal di sana.
“Banyak warga Kristen yang sudah balik ke Kota Poso sekarang
mengungsi lagi ke Tentena,” kata Pendeta Rinaldy Damanik, mantan Ketua
Gereja Kristen Sulawesi Tengah kepada Suara Hidayatullah.
Bahkan, kata Rinaldy, sejak kejadian di Tanah Runtuh, warga Kristen
di Poso sudah menyatakan ketidaksetujuan terhadap ulah Densus 88 yang
bersikap brutal terhadap kaum Muslim di Poso. “Sejak 2007, kami sudah
protes,” katanya. Persoalan Densus 88 ini, tambah Rinaldy, tak hanya
persoalan Muslim saja, tetapi juga permasalahan bangsa.*
Tangkap Dulu, Suratnya Belakangan
SOP Densus 88 dipertanyakan. Selain kerap salah tangkap, juga menangkap tanpa surat. Operasi Sandi Aman Maleo 2 di Pegunungan Biru dan Hutan Tamanjeka
Poso, Sulawesi Tengah telah berakhir Maret lalu. Operasi itu dilakukan
oleh pasukan gabungan TNI dan Polri dari satuan Brigade Mobil (Brimob)
sejak Januari 2013. Tepatnya pasca pembunuhan dua polisi serta
penembakan empat anggota Brimob hingga tewas oleh orang tidak dikenal di
Kabupaten Poso Pesisir Utara.
Kendati operasi tersebut telah usai, tetapi jajaran Polres Poso
sampai kini masih terus melakukan pencarian terhadap daftar pencarian
orang (DPO).
“Kita masih meningkatkan operasi intelejen dengan aparat di jajaran
pemimpin intel di Poso ditambah dengan aparat dari Polda Sulteng dan
Brimob,” kata Kapolres Poso, AKBP Susnadi kepada Suara Hidayatullah di
ruang kerjanya, Mapolres Poso Kota, akhir April lalu.
Sejak dua bulan menjelang pergantian tahun 2012, Poso memang kembali
mencekam, setidaknya ada beberapa penangkapan terduga teroris yang
dilakukan Brimob dan Densus 88. Salah satunya adalah penembakan Ahmad Halid, November 2012 lalu yang
dilakukan oleh Densus. Kejadian ini sempat memicu kemarahan warga.
Halid, PNS Polisi Hutan di Dinas Kehutanan Kabupaten Poso ditembak usai
melaksanakan shalat Subuh berjamaah di Masjid Al- Muhajirin, Jalan Pulau
Irian Jaya II, Kayamanya, Kota Poso.
Halid dituding sebagai pembuat peta bagi DPO yang bersembunyi di
Gunung Biru dan Hutan Tamanjeka. Ia akhirnya ditembak mati di depan SDN
27 Poso, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Kakak
Halid, Muhammad Nur mengatakan, Halid ditembak sekitar pukul 06.00 WIT,
saat beberapa murid SDN 27 sudah datang.
Ditodong Senjata
Sebelumnya, rumah Nur dan Halid didatangi oleh anggota Densus. Ibunda
Halid, Suryaningsih, terkejut ketika pintu samping rumahnya didobrak
paksa oleh anggota Densus.
Bahkan, kata Suryaningsih, salah seorang dari mereka memang sudah
berniat ingin menghabisi nyawa anaknya. Salah satu anggota Densus ketika
merangsek ke dalam rumah Suryaningsih, yang juga tempat tinggal Halid
mengutarakan maksud ingin membunuh anaknya itu. “Kalau kita dapat Halid,
kita tembak saja ya, Bu,” aku Suryaningsih menirukan ancaman anggota
Densus, sambil dirinya ditodong senjata laras panjang.
Setelah ditodong senjata, sekitar 10 orang anggota Densus menggeledah
rumah Suryaningsih. Saat Densus mendatangi rumah Halid, warga setempat
marah, mereka tidak terima jika tindakan pasukan elit Polri berlambang
burung hantu itu mengacak-acak daerah mereka.
Menurut Nur, selang beberapa jam, ratusan orang datang ke lokasi.
Mereka melempari Densus dan anggota Brimob dengan batu. Warga mendesak
agar jenazah Halid dikembalikkan ke keluarga, jangan diotopsi di
Jakarta. “Kita mendatangi kantor Polres Poso, ibu-ibu pengajian juga
banyak yang demo,” ucap Nur.
Saat penangkapan Halid, baik pihak Polres Poso dan Densus 88 tidak
memanggil Halid terlebih dahulu. Parahnya lagi, surat penangkapan
diberikan Densus setelah jenazah Halid dikubur.
Di hari yang sama, tetangga Halid, Ustadz Yasin juga menjadi target
Densus 88 dengan tudingan DPO. Bedanya, Ustadz Yasin tidak ditembak
mati, tetapi ia ditangkap hidup-hidup.
Istri Yasin, Ummu Aisyah menceritakan, waktu itu sang suami yang
sehari-harinya bekerja sebagai pedagang kue dan menjual laptop bekas itu
ditangkap usai shalat Subuh di Masjid Muhajirin.
Sebelumnya, ia melihat puluhan anggota Densus mengelilingi rumahnya.
Baru saja suaminya merebahkan tubuhnya, tiba-tiba pintu rumahnya di
dobrak. Lalu masuk anggota Densus menodongkan senjata. “Anak saya sampai
menangis dan ketakutan, mereka memborgol dan menutup mata suami saya di
depan anak-anak,” ucap ibu dari tujuh anak ini kepada Suara
Hidayatullah.
Saat anggota Densus masuk ke rumah, Ummu Aisyah spontan menanyakan
surat perintah penangkapan, tapi salah seorang anggota Densus mengaku
tidak membawa. “Pokoknya suami Ibu bersalah, kita hanya melaksanakan
tugas saja,” kata salah seorang anggota Densus, seperti dituturkan Ummu
Aisyah.
Ketika Yasin hendak dibawa keluar oleh Densus, sambung Ummu Aisyah,
salah seorang anak lakinya-lakinya yang masih kecil berteriak, “Jangan
ambil bapak saya!”
Sama dengan Halid, lagi-lagi polisi memberikan surat penangkapan
setelah 14 hari Yasin dibui. “Dua minggu baru dikasih surat
penangkapannya,” katanya.
Kasus salah tangkap terhadap warga Muslim di Poso sudah beberapa kali
terjadi, namun tidak sedikit juga aparat yang langsung menembak
ditempat.
Menurut Kapolres Poso Susnadi, prosedur penangkapan yang dilakukan
aparat sudah benar dan tidak melanggar undang-undang. “Polisi tidak
asal, khususnya soal terorisme, undang-undangnya beda dengan yang lain,
lebih spesifik,” kata Susnadi kepada Suara Hidayatullah.
Lebih lanjut Susnadi mengatakan, untuk menangkap DPO di Poso tidak
selalu membutuhkan bukti yang cukup. Info dari intelejen atau masyarakat
sudah cukup menjadi bukti. “Informasi saja bisa digunakan sebagai
barang bukti. Tapi, polisi kan tidak ceroboh,“ ucapnya.
Pria yang baru menjabat Kapolres Poso Maret lalu ini mengatakan,
aparat di Poso akan menangkap orang atau kelompok yang melawan ideologi
Pancasila. Bukan hanya Islam, tambah Susnadi, tetapi agama lain juga
bisa diperkarakan jika diduga ingin merongrong NKRI. “Tidak hanya Islam,
pokoknya mereka yang radikal dan memiliki senjata,” ujarnya.
Sementara itu, menanggapi tudingan yang dialamatkan ke lembaganya,
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Polisi Boy Rafli
Amar, mengatakan, Mabes Polri tidak khawatir atas desakan masyarakat
agar kinerja Densus 88 dievaluasi. Terutama terkait dengan pemberantasan
tindak pidana terorisme, termasuk mengenai cara penggerebekan dan
perlakuan terhadap pelaku teror.
Dikatakan Boy, segala masukan agar kinerja Densus 88 dievaluasi
merupakan bentuk perhatian masyarakat agar polisi bisa bekerja lebih
profesional, termasuk melalui detasemen tersebut.
“Intinya apa yang disampaikan semua dilandaskan keinginan agar Polri
bisa lebih profesional dan ini akan saya sampaikan kepada pimpinan
kami,” katanya dalam diskusi publik bertema Memberantas Terorisme Tanpa
Teror dan Melanggar HAM di kantor PP Muhamadiyah, Menteng, Jakarta
Pusat, awal April lalu.
Namun, pada waktu terpisah, saat dikonfirmasi mengenai system
operational and procedure (SOP) oleh Densus 88 dalam operasi penanganan
terduga teroris atau DPO di Poso, Boy Rafli tidak menjawab. Telepon
genggamnya berkali-kali dihubungi tidak diangkat, pesan singkat yang
dikirim Suara Hidayatullah juga tidak dibalas.*
Suara-suara Miring Densus 88
Komnas HAM menuding Densus 88 kerap melakukan pelanggaran HAM. IPW minta Densus 88 dibubarkan.
Pertengahan Maret lalu di depan wartawan, Komisi Nasional Hak Azasi
Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan pernyataan mengenai hasil penyelidikan
video kekerasan dalam penanganan terorisme di Poso, Sulawesi Tengah.
Pernyataan tersebut dibuat setelah sebelumnya, 7-11 Maret, Komnas HAM melakukan investigasi langsung ke Poso, Sulawesi Tengah.
Menurut Siane Indriani, Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan
Penanganan Tindak Pidana Terorisme Komnas HAM, telah ditemukan
pelanggaran HAM serius yang diduga dilakukan oleh Densus 88 terhadap
kaum Muslim di Tanah Runtuh 22 Januari 2007. Hal ini terungkap setelah
melakukan wawancara dengan korban dan saksi yang masih hidup.
Masih dalam pers rilis yang dibuat Komnas HAM, disebutkan, peristiwa
penembakan Densus 88 terhadap terduga atau tersangka tindak pidana
terorisme di Tanah Runtuh diduga ada pelanggaran hak untuk hidup.
Ketika dihubungi melalui ponselnya, sampai berita ini dibuat, Siane
mengatakan bahwa hingga kini Komnas HAM masih menyusun laporan. Pada 13
Mei lalu, Komnas HAM masih membawa masalah ini ke sidang paripurna.
“Masih akan ada rapat lagi, Komnas HAM belum bisa mempublikasikan ke media,” ucap Siane singkat.
Pelanggaran HAM Serius
Selain Komnas HAM, anggota DPR RI Komisi III rencananya bertolak ke
Poso. Tetapi, mereka tidak jadi ke Poso hanya sampai di Palu, Sulawesi
Tengah.
Rombongan Komisi III dipimpin oleh Muzzammil Yusuf. Politisi PKS
tersebut mengatakan, tokoh masyarakat dan anggota DPRD di Palu menilai
wilayah Kabupaten Poso sengaja dicitrakan sebagai pusat terorisme dan
dijadikan pusat instabilitas permanen oleh pihak asing.
Wakil Ketua Komisi III ini mengaku sudah mendengar penjelasan dari
Kapolda Sulawesi Tengah, tokoh agama, dan Panja DPRD Poso yang telah
bekerja sejak Januari 2013.
“Jika mendesak, dimungkinkan juga akan dibentuk Panitia Kerja (Panja)
DPR RI untuk menyelidiki dan evaluasi pelanggaran HAM di Poso,” katanya
kepada Suara Hidayatullah melalui sambungan telepon awal Mei lalu.
Dari Panja DPRD Poso, kata Muzzamzil, ia telah mendapatkan informasi,
teror di Poso sewaktu-waktu bisa membesar lantaran dipicu penanganan
terorisme yang dilakukan Densus 88 dipandang berlebihan dan
demonstratif.
“Masyarakat Poso mendukung pemberantasan terorisme, tapi mereka minta
agar stempel Poso sebagai wilayah instabilitas permanen dan episentrum
teror dihapus dari wacana publik,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S
Pane dalam pers rilisnya awal Maret lalu menyebutkan, laporan tersebut
merupakan bukti kekerasan yang dilakukan Densus 88 mulai bermunculan
dan hal ini sebagai bentuk pelanggaran HAM serius.
“Sebenarnya sudah banyak keluhan publik terhadap sikap dan prilaku
Densus 88. Antara lain anggota Densus yang cenderung menjadi algojo
ketimbang sebagai aparat penegak hukum yang melumpuhkan tersangka, untuk
kemudian di bawa ke pengadilan,” katanya.
Muzzammil mengatakan, pemerintah dan legislatif harus segera membuat
sistem kontrol yang ketat terhadap kinerja Densus 88. Selama ini,
katanya, praktis tidak ada kontrol terhadap kinerja pasukan elit Polri
itu.
Menilai banyaknya keluhan terhadap sikap dan perilaku Densus, maka
IPW memandang sudah saatnya Densus 88 dibubarkan. Jika suatu saat ada
isu teror, sambung Neta, cukup Brimob yang turun tangan.
Kata Neta, IPW memiliki data yaitu sejak tahun 2000 sudah 850 orang
yang diduga teroris ditangkap Densus. Dari jumlah itu, 85 orang tewas
ditembak di TKP. Sedangkan tahun 2011 merupakan penangkapan terbanyak,
yakni 93 orang yang diduga teroris ditangkap hidup-hidup, 8 di antaranya
ditembak di TKP.
Ketua MUI Sulawesi Tengah, Habib Ali Bin Muhammad Aljufri mengatakan,
Densus dan aparat yang bertindak main hakim sendiri harus segera
ditarik dari Poso.
“Yang menyebabkan keamanan terganggu harus ditarik, kita bermusuhan
dengan kekerasan, siapapun orangnya,” kata Habib Ali Bin Muhammad
Aljufri kepada Suara Hidayatullah akhir April lalu di kediamannya, Palu,
Sulawesi Tengah.
Pria yang juga Ketua Umum PB Al-Khairaat ini menambahkan, kasus ini
bukan hanya masalah Islam saja melainkan persoalan masyarakat Indonesia.
“Ini masalah kompleks, kita bersatu untuk menyelesaikan masalah ini,”
pungkasnya.*
Samsu Rizal Panggabean, M. Sc.
(Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Dosen Fisipol UGM)
“Silakan di Pra-peradilankan”
Bagaimana peta konflik di Poso pasca kerusuhan tahun 2006?
Kalau konflik Muslim dan Kristen di Poso bisa dianggap selesai. Mereka
sudah kembali ke masyarakat, menjadi warga biasa dan bekerja. Ada memang
sebagian kecil yang masih memiliki dendam dan permusuhan, terutama
dengan polisi. Ini yang kita lihat sekarang.
Beberapa waktu lalu sempat mencuat video penyiksaan Densus 88 terhadap Muslim Poso. Menurut Anda?
Sebagian video itu sebenarnya berasal dari serangan ke Tanah Runtuh Januari 2007. Sebagian lagi video lama.
Itu panjang ceritanya. Ada proses negosiasi. Ada yang menyerah dan
ada yang bertahan dan melawan. Ketika serangan terjadi, itu akhir dari
proses negosiasi. Terjadi kontak, lalu belasan ikhwan meninggal. Aparat
juga ada yang mati. Foto-foto dan video itu berasal dari kejadian itu.
Bagaimana bisa terjadi salah tangkap terhadap umat Islam yang diduga sebagai teroris?
Salah tangkap itu memang satu hal yang keliru. Semestinya polisi tidak
boleh lagi salah tangkap, karena mereka sudah punya data tentang siapa
ikhwan yang sudah kembali ke masyarakat, dan siapa yang masih seperti
dulu: menggunakan kekerasan. Itu semestinya aparat sudah tahu. Jangan
ada lagi salah tangkap, apalagi disertai pemukulan. Ini kritik kita
kepada Densus 88.
Saya kenal secara pribadi dengan beberapa orang yang salah tangkap
itu. Ada di antara mereka yang sebenarnya tinggal di tempat yang cukup
jauh dari lokasi kejadian. Mereka sudah kembali ke masyarakat.
Nah, kejadian salah tangkap ini saya duga karena anggota Densus yang
bertugas menyisir dan menangkap tidak punya informasi lengkap tentang
siapa yang harus ditangkap. Bisa jadi mereka adalah anggota baru di
Densus.
Bukankah mereka menerapkan sistem komando dan informasi tidak mungkin terputus?
Iya memang ini agak mengherankan. Meski sistem komandonya jalan, tapi di
dalam dunia intelijen kadang-kadang pengetahuan yang dimiliki oleh
petugas yang baru belum tentu sama dengan yang dimiliki oleh petugas
sebelumnya. Belum tentu mereka memiliki informasi yang setara.
Umat Islam di Poso saat ini takut menjadi korban salah tangkap. Tanggapan Anda?
Itu yang harus dihindari oleh Densus dan polisi. Mereka tidak boleh
salah tangkap, karena konsekuensinya bisa dipra-peradilankan dan
tuntutan lainnya, termasuk tuntutan yang paling keras: meminta Densus
dibubarkan.
Selama ini saya tidak mendengar ada proses yang mempraperadilankan
Densus. Sebenarnya itu bisa dilakukan, apalagi jika terbukti salah
tangkap. Jangan karena dia Densus lalu bisa melakukan tindakan-tindakan
yang melanggar undang-undang, hak-hak tersangka, dan prosedur
pemeriksaan yang sudah berlaku.
Apa solusi untuk penyelesaian konflik aparat dengan umat Islam di Poso?
Pertama, operasi Densus memang harus lebih terarah, misalnya ke
unsur-unsur yang masih menggunakan kekerasan bersenjata terhadap polisi,
dan juga yang masih melakukan teror. Jadi sederhananya, kekuatan
dilawan dengan kekuatan.
Kedua, ada ketidakpercayaan di kalangan tokoh-tokoh Muslim terhadap
polisi, khususnya Densus 88. Mereka dianggap tidak selektif, memojokkan
umat Islam, dan lain-lain. Itu sejarahnya lama, sejak zaman konflik
dulu. Jadi yang harus dilakukan adalah rekonsiliasi antara tokoh-tokoh
Muslim dengan polisi. Kedua belah pihak harus saling bertemu untuk
meng-clear-kan permasalahan yang terjadi, sehingga timbul saling
mempercayai.* SUARA HIDAYATULLAH, JUNI 2013
*****