Selasa, 05 Januari 2010

Pulang Kampung Lagi (8)

(8)

Kami berada di tengah-tengah ketersendatan. Kendaraan truk-truk besar berlapis-lapis di hadapan. Ada tehnik sederhana yang biasa aku lakukan untuk menyalip kendaraan di saat macet seperti yang saat itu kami alami. Teknik menunggu kendaraan lain di depan menyalip dan kemudian ikut di belakangnya. Setiap kali ada kendaraan di depan yang sedang pindah jalur ke kanan untuk mendahului, berarti jalur kanan itu aman bagi kendaraan kami dan aku melesat pula maju mendahului. Kalau kendaraan di depan merapat ke kiri karena ada kendaraan dari arah berlawanan, aku juga segera merapat ke kiri. Hanya dengan cara seperti itu truk-truk besar itu bisa dilewati dengan mudah.

Sudah jam tujuh malam waktu kami terbebas dari kemacetan. Sudah kami lalui Kayu Agung. Kami melaju dalam kegelapan malam. Jam delapan malam kami berhenti di sebuah pompa bensin. Untuk mengisi bensin. Untuk ke kamar kecil dan terakhir untuk shalat. Aku tidak menanyakan nama tempat itu.

Setelah shalat kami lanjutkan lagi perjalanan. Kami sudah sepakat untuk tidak beristirahat di penginapan malam ini. Lagi pula mau menginap di penginapan mana lagi? Kalau menempuh jalur Palembang, yang dikenal sebagai jalur timur ini tidak banyak kota yang dilalui. Seandainya harus beristirahat, paling-paling berhenti di pompa bensin dan tidur dalam mobil.

Jalan ini relatif ramai. Kalau aku memacu sendirian agak kencang, tidak lama kemudian di hadapan kami sudah ada lagi kendaraan. Kalau kendaraan lain itu berjalan santai tentu harus dilewati. Ada beberapa buah bus jarak jauh yang kami jumpai searah dengan kami. Ini juga sebuah alat pembanding yang baik. Bus ini cenderung untuk kencang ketika jalan tidak mendaki. Aku senang mengiringkan bus seperti ini. Tinggal dijaga jarak aman di belakangnya. Dia kencang, aku ikuti pula dengan kecepatan yang sama. Tidak kencang sangat. Mungkin dengan kecepatan sekitar 100 km per jam. Begitu ada jalan mendaki, bus itu biasanya terengah-engah. Kalau sudah begitu aku dahului.

Penumpang di kendaraan kami sudah senyap. Sepertinya mereka sudah kecapekan dan kemungkinan sedang tertidur. Termasuk pambayan yang duduk di sebelahku. Aku sendiri alhamdulillah dalam keadaan segar-segar saja. Baik juga khasiat kopi yang diminum sore tadi. Kalau sudah begini, aku biasanya mengaji. Membaca al Quran yang aku hafal. Sambil mata tetap awas ke depan.

Jalan yang kami tempuh dalam kondisi sangat baik. Hampir tidak ada kerusakan. Kabarnya jalan ini diperbaiki menjelang pelaksanaan PON dua tahun yang lalu. Dan dua tahun yang akan datang Palembang akan jadi tuan rumah SEA Games. Mudah-mudahan jalan ini akan tetap terpelihara kenyamanannya. Ada satu kekurangan jalur ini yang aku ingat benar ketika dulu aku juga pernah melintasinya. Banyak ditemukan belokan patah membuat sudut 90 derajat. Belokan patah siku seperti itu rupanya sudah banyak berkurang. Belokan seperti itu sangat beresiko apalagi kalau pengemudi sedang kelelahan.

Kekurangan lain, persis seperti yang aku amati tadi malam di jalan menuju Jambi adalah minimnya batu penunjuk jarak. Kami bagaikan berjalan di pesawangan tanpa batas. Tidak tahu kota atau kampung apa yang akan dijelang berikutnya dan berapa jaraknya.

Kami teruskan saja perjalanan. Tiba-tiba mobil kami didahului oleh bus besar, yang tadi sudah dilewati. Aku biarkan dia di depan dan aku ikuti kembali seperti tadi. Kami beriring-iringan dalam waktu yang cukup lama. Jalan relatif rata walau kadang-kadang berbelok-belok. Akhirnya kami sampai di Menggala. Menggala nama sebuah kota. Kali ini ada penunjuk ke arah Bakauheni. Aku sudah diberi tahu kemaren di Bukit Tinggi bahwa ada jalan baru memintas ke Bakauheni. Katanya jalan itu bagus hanya agak sempit. Kami tidak akan mengambil jalan pintas itu.

Kami keluar ke pertemuan jalan lintas timur dengan lintas tengah di Tulang Bawang. Aku tidak mengenal jalur ini. Kami sampai ke sini karena dari tadi mengikuti bus besar antar kota itu. Jalan yang aku kenal adalah keluar dekat Bandar Jaya. Kota itu sudah dekat ke Bandar Lampung. Sedangkan Tulang Bawang masih jauh dari Bandar Lampung. Masih sebelum Kota Bumi.

Sudah jam satu malam. Berarti aku sudah menyetir lebih dari tujuh jam. Sudah lumayan lelah. Ketika suami adik ipar menawarkan pergantian aku langsung mengiyakan. Sebenarnya perut sudah lumayan lapar. Kami tahan. Kami akan makan nanti menjelang Bandar Lampung.

***

Sabtu, 02 Januari 2010

Pulang kampung Lagi (7)

(7)

Aku terbangun beberapa menit menjelang azan subuh. Sekitar jam setengah lima lebih sedikit. Segera berbersih-bersih di kamar mandi. Ketika aku selesai dari kamar mandi, azan segera berkumandang. Alhamdulillah, inilah keelokan negeri ini. Adanya panggilan azan pada saat masuk waktu shalat. Namun kali ini sepertinya berasal dari tempat yang agak jauh. Sementara aku tidak familiar dengan lingkungan ini. Aku ragu-ragu untuk pergi keluar mencari masjid. Keraguan yang berakhir dengan tidak jadi pergi. Kami shalat berjamaah di kamar saja.

Jam tujuh pagi kami sudah siap untuk meninggalkan hotel Matahari. Hotel ekonomis ini hanya membekali kami dengan sepotong roti (sepotong dalam arti harfiah) dan secangkir kopi atau teh. Ini jelas tidak cukup untuk dipakai melawan jalan panjang hari ini. Artinya kami harus mencari tempat sarapan terlebih dahulu. Yang ternyata tidak mudah. Kami berputar-putar di dalam kota sekitar setengah jam sebelum akhirnya menemukan sebuah kedai kopi. Sebuah kedai kopi Cina, entah di bagian mana kota. Disinilah kami sarapan. Ada yang memesan nasi lemak (nasi uduk versi Jambi), nasi goreng. Aku memesan mi rebus dan kopi susu. Aku yang sudah lama tidak membiasakan lagi minum kopi, memesannya karena perjalanan panjang ini akan memerlukan tenaga ekstra. Baru terbuka agak-agak. Kami segera akan keluar dari kota Jambi. Waktu menunjukkan jam sembilan. Hari hujan panas di pagi hari ini.

Mobil kami menderu ke arah Palembang. Jalan ternyata cukup bagus meski sedikit ramai. Aku jadi penumpang pagi ini. Kami mehotar berat sepanjang jalan. Hotar politik sampai hotar ekonomi. Hotar yang berlapir-lapir karena kami membahas sampai kasus bank Century.

Jalan benar-benar dalam kondisi bagus. Konon ini sebagai buah positif otonomi daerah. Kabupaten Ogan Komering ini sekarang termasuk sebuah daerah yang kaya dari hasil minyak bumi. Yang agak mengherankan ada di suatu bagian sisi jalan terlihat pohon-pohon sawit tua yang sudah tidak berbuah tapi tidak diremajakan. Entah apa sebabnya. Menjelang kota Banyu Asin jalan mulai macet. Kamipun jadi tersendat-sendat.

Jam dua lebih kami memasuki kota Palembang. Sedang elok terasa lapar. Kami menuju restoran Pagi Sore di tengah kota. Restoran yang apik dan cukup besar. Restoran Minang yang sudah sedikit disesuaikan dengan lidah wong kito. Ada sedikit rasa manis-manis di dalam pedasnya. Saya ingat kota Medan yang juga mempunyai restoran Melayu Minang. Agak mirip-mirip nuansanya dengan restoran Pagi Sore ini.

Ada mushala juga di restoran ini. Dan disana kami shalat. Sudah jam setengah empat waktu kami meninggalkan restoran. Tujuannya adalah mencari kedai empek-empek. Empek-empek Candy. Untuk dibawa sebagai oleh-oleh tanda sudah singgah di Palembang. Sementara ibu-ibu mengatur pembelian pembayan mengajak mencicipi beberapa jenis empek-empek yang siap saji. ‘Sambil minum kopi, bang,’ katanya. Benar juga. Secangkir kopi lagi akan sangat bermanfaat. Karena setelah ini aku yang akan memegang kemudi. Dan rencananya kami akan berjalan terus malam ini.

Jam setengah lima waktu kami meninggalkan kedai empek-empek. Palembang sudah siap untuk ditinggalkan. Kami melintas di atas jembatan Ampera. Mengikuti arus lalu lintas yang lumayan padat. Tadinya aku menyangka bahwa lalu lintas padat itu hanya di lingkungan kota Palembang saja. Begitu keluar aku berharap jalan akan mulai sepi. Aku salah total. Jalan ke luar kota dari Palembang menuju Kayu Agung mirip dengan jalan Jakarta Puncak. Padat merayap. Yang searah padat begitu pula yang berlawanan arah. Hari sudah menjelang maghrib.

***